HUTAN PINUS MALINO
Malino berada 90 km di sebelah timur kota Makassar. Jalanannya beraspal halus, berliku dan mendaki menyusuri kaki Gunung Bawakaraeng di kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa. Dilihat dari udara akan tampak aliran Sungai Jeneberang yang mengalir dari Gunung Bawakaraeng menuju Makassar. Tampak pula aliran sungai yang melebar menjadi seperti genangan air yang luas. Itu tidak lain adalah Bendungan Bili-bili. Bendungan ini tampak bersebelahan jalanan berliku yang tadi dilewati. Rute perjalanan hanya ada satu poros jalan yaitu dari Makassar menuju ke Malino hingga ke arah Sinjai.
Perjalanan selama dua jam dihiasi dengan perbukitan yang tegak menjulang di kiri jalan dan lembah melandai di kanan jalan. Semakin dekat dengan Malino, semakin tajam tikungan yang dilalui Hingga akhirnya, hawa dingin nan sejuk mulai menerpa, ketika kumpulan tegakan pinus (Pinus merkusii) di ketinggian 1.000 meter di-atas-permukaan-laut menyambut kedatangan di Malino. Sejarah mencatat bahwa kesejukan alam Malino ini merupakan magnet yang memikat untuk dikunjungi. Jauh di masa kerajaan Gowa, kawasan Malino telah menjadi tempat peristirahatan para raja dan keluarganya. Di tahun 1927, Gubernur Caron di masa penjajahan Belanda, membangun pesanggrahan di Malino sebagai tempat peristirahatan bagi para petingginya. Tahun 1946 di Malino diselenggarakan konferensi Negara Indonesia Timur yang menggagas kehendak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Dan di tahun 2001 digelar Perjanjian Perdamaian Malino I dan II untuk melerai pertikaian di Poso, Sulawesi Tengah dan untuk di Ambon, Maluku.
Memasuki kota Malino yang juga merupakan ibukota Kecamatan Tinggimoncong, sederet villa dan toko kecil menghiasi jalanan. Jalan poros Makassar-Malino-Sinjai ini membelah kota Malino dan Hutan pinus TWA Malino, sehingga aksesilibitas lokasi menjadi sangat mudah. Sajian utama wisata alam di TWA Malino seluas ± 3.500 ha adalah menikmati kesejukan alami hutan pinus yang berada 2 km di luar Kota Malino. Objek wisata alamnya tersebar di beberapa titik lokasi namun berpusat di dekat pondok kerja BBKSDA Sulawesi Selatan, yang kini dimanfaatkan Pemda Gowa untuk menambah retribusi daerah.
Deretan belasan kios dan warung minum akan memudahkan pengunjung ketika turun dari kendaraan dan ingin duduk-duduk bersantai. Warga setempat menyediakan sewa tikar bila ingin duduk melantai, menikmati kesejukan alam tepat di bawah pepohonan pinus. Cukup lima ribu rupiah untuk sepuasnya. Tawaran wisata berkuda menggoda untuk dicoba. Rute yang ditawarkan berupa satu kali berkendara kuda mengelilingi setengah hektar hutan pinus dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Bila masih penasaran dalam menunggang kuda, maka cukup dengan lima puluh ribu rupiah, kuda dapat disewa selama satu jam. Lumayan, hitung-hitung belajar naik kuda sambil berwisata.
Pemerintah Daerah setempat memperkaya pengembangan wisata alam di Malino, dengan menambahkan beberapa objek wisata di sekitar batas hutan TWA Malino. Di Kota Malino, terdapat Permandian Lembah Biru yang bersambung ke Air terjun Tangga Seribu Sungai Bulan. Dinamakan demikian karena jumlah tangga menurun menuju air terjun yang begitu banyak. Namun itu terbayar lunas setelah menyaksikan tinggi dan derasnya curahan air terjun. Hanya saja ketika pulang, maka perjalanan akan menjadi mendaki dan membuat kaki terasa seperti mendaki tangga gedung bertingkat enam lantai.
Empat kilometer sebelah tenggara kota Malino di daerah Bulutana di luar TWA Malino, dapat dinikmati Air Terjun Takapala. Takapala diartikan sebagai ta=tidak, kapala’=tebal. Maksudnya air terjun ini tidak deras atau tidak berbahaya untuk dikunjungi wisatawan. Objek-objek wisata air terjun selalu menarik untuk dikunjungi, meski hanya duduk terdiam, menikmati perpaduan sensasi gemuruh suaranya dan melihat butiran kabut air yang berjatuhan. Dan akan makin menyegarkan bila berani berbasah-basah.
Empat kilometer sebelah utara dari kota Malino, di daerah Pattapang kelurahan Bulutana di luar perbatasan TWA Malino, terbentang 130 ha kebun teh milik PT. Nittoh Malino Teh (NMT). Hamparan kebun teh menawarkan suasana hijau sejuk bagi indera penglihatan dan segelas teh hangat untuk mengusir hawa dingin yang makin menggigit. Kebun teh ini dibangun pada tahun 1979 dengan nama PT. Nittoh Teh dan dikelola oleh PT. Dharma Incar Corp. Pada tahun 1987, perusahaan teh ini beralih ke investor dari Jepang yang kemudian berganti namanya menjadi PT. NMT. Tanpa terhalang pepohonan, di kejauhan tampak menjulang puncak Gunung Bawakaraeng.
Gunung Bawakaraeng merupakan darah tangkapan air untuk Kabupaten Gowa, Makassar dan Sinjai. Puncak gunungnya berada di ketinggian 2.830 m dpl. Gunung ini termasuk ke dalam wilayah kawasan Hutan Lindung Lompobatang-Bawakaraeng dan sebagian hutan TWA Malino. Keanekaragaman hayati banyak bertebaran di sini seperti burung nuri (Trichaglossus flavoridis), kera hitam (Macaca maura), biawak (Varanus salvator), jalak kerbau (Acridatheres sp), raja udang (Halcyon sp), dan burung gelatik (Padda ryzofora). Selain flora dominan yaitu pohon pinus (Pinus merkusi) terdapat pula jenis flora lain seperti ekaliptus (Eucalyptus sp), akasia (Acasia auriculiformis) jabon (Anthocepthalus cadamba), beringin (Ficus benjamina), edelweis (Edelwesy sp), rotan (Calamus sp) dan kenanga (Cananga ordorata). Menurut mitos, Gunung Bawakaraeng berarti Gunung Mulut Tuhan (bawa=mulut dan karaeng=Tuhan), yang berawal dari kepercayaan sebagian kecil masyarakat di kabupaten Gowa. Mereka percaya bahwa jika pada bulan Dzulhijjah (kalender Qomariah) mereka mampu mendaki Gunung bawakaraeng hingga tiba di puncak, maka akan dianggap sama dengan telah menunaikan perjalanan haji ke Mekkah. Di komunitas mereka dikenal dengan istilah Haji Bawakaraeng.
Di pinggir kota Malino, di Jalan Pendidikan di antara deretan pepohonan pinus TWA Malino, terbuka areal seluas satu hektar. Di areal ini biasa digunakan oleh Parabus Malino Adventure Tour and Outbond untuk menyelenggarakan kegiatan outbond. Umumnya pesertanya berasal dari kalangan karyawan perusahaan dalam rangka membangun semangat kerja atau pun kepemimpinan yang dikemas dalam bentuk permainan tematik yang lucu dan menantang. Dan terbuka pula untuk kalangan lainnya dengan sistem pemesanan dalam rombongan wisata.
Kalau Bandung terkenal dengan julukan “Kota kembang”, maka Malino dapat disebut sebagai “Kota Bunga di Sulawesi Selatan”. Julukan ini muncul karena banyak species bunga yang tumbuh di Malino. Hasil penelitian Gerard Van Went Gerard (2007) dari lembaga penelitian asal Belanda pada “Programme Uitzending Managers” (PUM), menyatakan bahwa sekitar 60% bunga yang tumbuh di Belanda juga terdapat di kawasan Malino dan sekitarnya. Bunga yang terkenal di antaranya adalah anggrek dan eidelwis yang banyak dijajakan pedagang kaki lima di Malino.
Di daerah Kanreapia, sekitar 8 km ke arah timur kota Malino, kebun-kebun hortikultura milik warga setempat berjajar rapi jalur-jalur tanaman wortel, tomat, kentang, kubis, vetsai, bawang dan sebagainya. Sebagai oleh-oleh bagi dapur sehat, sayur mayur ini dapat dibeli di pasar kota Malino dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan di Makassar.
Perubahan nuansa lingkungan yang drastis dari hiruk pikuk kota ke kesejukan yang menenangkan, dari kota pantai yang panas ke pegunungan yang dingin yang berkabut, dipercaya mampu memberikan variasi dalam rutinitas kehidupan, menyegarkan kembali suasana hati. Seeing is believing. Dan ketika makin banyak orang yang menyukainya, maka membebaskan diri sejenak ke alam bebas telah menjadi momentum kecil yang selalu dinantikan.
0 komentar:
Posting Komentar